aLamathuR.com - Bulan September 2025 menjadi saksi atas krisis global yang kian kompleks, dari isu lingkungan hingga konflik bersenjata. Survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset internasional seperti World Economic Forum, Ipsos, dan OECD menunjukkan adanya pergeseran fokus kekhawatiran masyarakat global. Jika beberapa tahun lalu isu ekonomi dan pandemi menjadi perhatian utama, kini dunia semakin diselimuti rasa cemas akibat ketidakstabilan politik dan perpecahan sosial. Laporan Global Risks Report 2025 menempatkan "konflik bersenjata antarnegara" sebagai risiko teratas dalam jangka pendek.
Fenomena ini juga terlihat dalam survei Ipsos, What Worries the World, yang menunjukkan kekhawatiran terhadap konflik bersenjata terus meningkat, terutama di kawasan yang bergejolak. Namun, paradoksnya, sebagian besar masyarakat justru semakin lelah dengan berita politik, sebagaimana terungkap dalam riset Reuters Institute. Kecenderungan ini menguat, terutama di kalangan generasi muda yang lebih memilih mencari informasi dari platform media sosial seperti TikTok. Mereka menghindari berita yang memicu perdebatan dan lebih tertarik pada konten yang ringan dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, sebuah tren yang juga terlihat kuat di Indonesia.
Di Indonesia, hasil survei menunjukkan adanya dinamika politik yang kompleks pasca-pemilu 2024. Meskipun pemilu sudah usai, isu polarisasi politik masih menjadi tantangan utama. Survei oleh ResearchGate menyoroti bahwa generasi muda semakin kritis terhadap integritas kandidat, dan partisipasi perempuan dalam politik semakin meningkat. Namun, di sisi lain, masyarakat cenderung menghindari berita politik karena dianggap memicu perdebatan. Ini menciptakan celah di mana informasi yang tidak akurat (mis/disinformasi) dapat menyebar dengan mudah, dan hal ini menjadi salah satu risiko global teratas.
Situasi serupa juga terjadi di negara-negara yang menghadapi konflik langsung. Di Nepal, misalnya, laporan Nepal Country Inequality Report 2025 menyoroti bahwa ketidaksetaraan sosial dan politik semakin sistemik, diperparah oleh isu migrasi dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Di sana, tantangan utama adalah bagaimana pemerintah bisa menjembatani kesenjangan ini di tengah ketidakstabilan politik internal. Sementara itu, di Palestina, survei terbaru oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) pada Mei 2025 menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat terbebani oleh perang yang berlarut-larut. Harapan akan gencatan senjata ada, tetapi ketidakpercayaan terhadap solusi politik terus membayangi.
Analisis dari OECD dalam laporannya, States of Fragility 2025, menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami konflik, seperti Sudan, Sahel, dan sebagian wilayah Timur Tengah, menghadapi tantangan berat dalam hal stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Konflik-konflik ini sering kali dipicu oleh ketegangan geopolitik dan persaingan sumber daya. Masyarakat di wilayah-wilayah ini menjadi korban utama, kehilangan akses terhadap layanan dasar, dan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan. Kondisi ini diperparah oleh polarisasi yang semakin mendalam, membuat penyelesaian konflik menjadi lebih sulit. Globalisasi dan kemudahan akses informasi, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, justru sering dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi-narasi yang memecah belah, menciptakan dunia yang lebih terfragmentasi daripada sebelumnya.