• Narsis Tidak Dilarang

    Para ahli memperkiraan bahwa hanya ada 5% orang yang memiliki NPD. Dikutip dari Psych Central, laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami NPD dibanding perempuan...

  • Cerita Hileud Jepang

    Semuanya bermula dari 20 tahun yang lalu...

  • My Bike My Pride

    Riding a motorcycle can be a great hobby for me. It can provide a sense of freedom and adventure, as well as an opportunity to enjoy the outdoors and explore new places...

15 September 2025

Jati Diri di Era Konflik dan Polaritas: Potret Dunia September 2025

aLamathuR.com - Bulan September 2025 menjadi saksi atas krisis global yang kian kompleks, dari isu lingkungan hingga konflik bersenjata. Survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset internasional seperti World Economic Forum, Ipsos, dan OECD menunjukkan adanya pergeseran fokus kekhawatiran masyarakat global. Jika beberapa tahun lalu isu ekonomi dan pandemi menjadi perhatian utama, kini dunia semakin diselimuti rasa cemas akibat ketidakstabilan politik dan perpecahan sosial. Laporan Global Risks Report 2025 menempatkan "konflik bersenjata antarnegara" sebagai risiko teratas dalam jangka pendek.

Fenomena ini juga terlihat dalam survei Ipsos, What Worries the World, yang menunjukkan kekhawatiran terhadap konflik bersenjata terus meningkat, terutama di kawasan yang bergejolak. Namun, paradoksnya, sebagian besar masyarakat justru semakin lelah dengan berita politik, sebagaimana terungkap dalam riset Reuters Institute. Kecenderungan ini menguat, terutama di kalangan generasi muda yang lebih memilih mencari informasi dari platform media sosial seperti TikTok. Mereka menghindari berita yang memicu perdebatan dan lebih tertarik pada konten yang ringan dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, sebuah tren yang juga terlihat kuat di Indonesia.

Di Indonesia, hasil survei menunjukkan adanya dinamika politik yang kompleks pasca-pemilu 2024. Meskipun pemilu sudah usai, isu polarisasi politik masih menjadi tantangan utama. Survei oleh ResearchGate menyoroti bahwa generasi muda semakin kritis terhadap integritas kandidat, dan partisipasi perempuan dalam politik semakin meningkat. Namun, di sisi lain, masyarakat cenderung menghindari berita politik karena dianggap memicu perdebatan. Ini menciptakan celah di mana informasi yang tidak akurat (mis/disinformasi) dapat menyebar dengan mudah, dan hal ini menjadi salah satu risiko global teratas.

Situasi serupa juga terjadi di negara-negara yang menghadapi konflik langsung. Di Nepal, misalnya, laporan Nepal Country Inequality Report 2025 menyoroti bahwa ketidaksetaraan sosial dan politik semakin sistemik, diperparah oleh isu migrasi dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Di sana, tantangan utama adalah bagaimana pemerintah bisa menjembatani kesenjangan ini di tengah ketidakstabilan politik internal. Sementara itu, di Palestina, survei terbaru oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) pada Mei 2025 menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat terbebani oleh perang yang berlarut-larut. Harapan akan gencatan senjata ada, tetapi ketidakpercayaan terhadap solusi politik terus membayangi.

Analisis dari OECD dalam laporannya, States of Fragility 2025, menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami konflik, seperti Sudan, Sahel, dan sebagian wilayah Timur Tengah, menghadapi tantangan berat dalam hal stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Konflik-konflik ini sering kali dipicu oleh ketegangan geopolitik dan persaingan sumber daya. Masyarakat di wilayah-wilayah ini menjadi korban utama, kehilangan akses terhadap layanan dasar, dan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan. Kondisi ini diperparah oleh polarisasi yang semakin mendalam, membuat penyelesaian konflik menjadi lebih sulit. Globalisasi dan kemudahan akses informasi, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, justru sering dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi-narasi yang memecah belah, menciptakan dunia yang lebih terfragmentasi daripada sebelumnya.



03 September 2025

Generasi di Ujung Jari

aLamathuR.com - Dunia ini, kini, digerakkan oleh jemari. Lihatlah, mereka, generasi video pendek, anak-anak yang tumbuh bersama layar. Hidup mereka terbentang dalam hitungan detik, dalam klip-klip yang tak henti. Mereka adalah generasi TikTok, yang menari mengikuti irama yang berganti setiap hari, yang menemukan kebahagiaan dalam melodi yang singkat dan gambar yang memikat.

Namun, di balik layar yang cerah, ada kekhawatiran. Apakah kecepatan itu membuat mereka menjadi generasi tumpul pikir? Apakah mereka kehilangan kemampuan untuk merenung, untuk memahami sesuatu secara mendalam? Mereka juga adalah generasi cuan, yang dengan cepat belajar bahwa popularitas bisa diubah menjadi uang. Setiap klik, setiap like, adalah mata uang yang menjanjikan masa depan.

Dan di antara semua itu, mereka terbiasa dengan yang serba instan. Semua harus cepat, tanpa jeda. Tidak ada lagi proses yang panjang, tidak ada lagi kesabaran yang ditempa waktu. Kebahagiaan, kesuksesan, bahkan persahabatan, seolah bisa diunduh dalam sekejap.

Di sisi lain, kami, para orang tua, hanya bisa menatap cemas. Kami merasakan beban psikologis yang berat, seolah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kami ingin mereka mengeksplorasi dunia baru ini. Di sisi lain, kami takut mereka tersesat. Kami hanya ingin memastikan masa depan mereka terjaga dan cerah, seperti impian yang selalu kami rajut. Kami ingin mereka menjadi kuat, bijak, dan tidak mudah terpengaruh.

Media sosial bagai samudra luas. Ia bisa membawa mereka pada banyak hal baik: pengetahuan, kreativitas, dan koneksi. Tapi ia juga bisa menyeret mereka ke dalam arus yang berbahaya. Ini adalah tantangan kita bersama. Tugas kita bukan untuk menolak, melainkan untuk membimbing. Mengajari mereka berenang di samudra itu, agar mereka tidak hanya melihat permukaannya yang indah, tapi juga memahami arusnya yang bisa jadi mematikan. Kita harus mengingatkan mereka bahwa ada dunia di luar layar, dunia yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan hati nurani. Dan di sanalah, masa depan yang sesungguhnya terukir.



02 September 2025

Jangan Kaget! Inilah Alasan Hidup Kita Tidak Sama

aLamathuR.com - Pernah tidak, kamu merasa hidup ini seperti permainan yang pengaturannya curang? Kita semua mulai dari garis start yang sangat berbeda. Ada yang lahir sudah di level tinggi dengan perlengkapan lengkap, sementara yang lain harus memulai dari nol, modalnya hanya tekad. Ini bukan hanya teori, ini realitas pahit yang kita lihat setiap hari: yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin sulit bernapas.


Si Kaya yang Punya "Kode Curang"

Coba bayangkan, orang kaya itu seolah punya "kode curang" dalam hidup. Mereka bisa mengakses pendidikan terbaik, memiliki jaringan yang luas, dan modal untuk membangun bisnis. Kalaupun gagal, mereka punya jaring pengaman yang tebal sekali. Gagal di satu proyek? Ah, bisa coba lagi, uangnya toh tidak habis. Uang mereka bekerja untuk mereka, menghasilkan uang lagi, dan lagi. Inilah yang disebut "privilege". Mereka tidak perlu bekerja keras hanya untuk bertahan hidup, mereka bekerja untuk menggandakan kekayaan.


Si Miskin yang Bermain Tanpa Senjata

Di sisi lain, si miskin harus berjuang mati-matian hanya untuk bertahan. Bekerja keras dari pagi hingga malam, banting tulang, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan hari itu. Tidak ada tabungan untuk masa depan, apalagi untuk investasi. Kalau sakit? Itu bencana. Tidak bisa bekerja sehari saja, bisa langsung kelaparan. Ini bukan soal mereka malas, tapi mereka terjebak dalam lingkaran setan yang sangat sulit diputus. Mereka tidak punya akses ke pendidikan yang bagus, tidak punya modal, dan setiap langkah yang mereka ambil, risikonya sangat besar.


Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak ada yang bilang ini mudah. Tapi, kita tidak bisa hanya diam dan mengeluh. Ironi ini seharusnya menjadi pemicu bagi kita. Mungkin tidak semua orang bisa mengubah sistem, tapi kita bisa mulai dari hal kecil. Bantu teman yang membutuhkan, sebarkan informasi tentang beasiswa atau pelatihan gratis, atau minimal, tidak usah sombong kalau kita punya lebih. Intinya, kita harus memiliki empati. Karena pada akhirnya, kita semua berada di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Mungkin kita tidak bisa membuat semua orang kaya, tapi kita bisa berusaha membuat hidup menjadi sedikit lebih adil.



01 September 2025

Etika, Emosi, dan Harta Penguasa

aLamathuR.com - Di banyak lembaran ajaran suci, ada satu pesan yang sering berbisik: "Jangan ambil yang bukan hakmu." Pesan itu berlaku untuk semua, bahkan saat hati memanas melihat pemimpin yang tak peduli. Agama-agama besar sepakat, menjarah harta, meski dari istana yang tak berempati, adalah langkah yang salah. Ia seperti memadamkan api dengan bensin.


Islam: Kisah Tentang Berkah dan Dosa

Dalam Islam, harta itu punya jalurnya sendiri. Mengambil paksa, meski dari tangan penguasa yang zalim, adalah jalan yang berduri. Ia merenggut keberkahan, mengubah niat suci menjadi dosa. Dalam setiap ayatnya, Al-Qur'an dan Hadis seperti mengingatkan, "Jangan biarkan amarahmu mencuri kebenaran. Keadilan harus dicari, tapi bukan dengan melanggar larangan-Nya." Harta yang diambil dari penjarahan, seolah tak pernah bisa membawa kedamaian.


Kristen: Jalan Damai Mencari Cahaya

Ajaran Kristen mengajarkan, dalam kegelapan ketidakadilan, kita tak boleh membalas dengan kegelapan. Menjarah adalah membalas dendam, bukan mencari kebenaran. Alkitab memang mengecam kezaliman, tapi ia mengajak kita untuk mencari solusi yang damai, lewat jalur yang sah. Seperti mengalirkan sungai, bukan merusak bendungan. Prinsip kasih dan pengampunan menjadi lentera di jalan yang penuh tantangan ini.


Hindu dan Buddha: Simfoni Tanpa Kekerasan

Dalam Hindu, pemimpin diibaratkan pelayan rakyat, bukan raja yang serakah. Tapi, saat pelayan itu ingkar janji, bukan berarti rakyat boleh mencuri. Begitu juga dalam Buddhisme, hidup harus dijalani dengan sila, salah satunya tidak mencuri. Menjarah, apa pun alasannya, adalah melanggar sila itu. Ia seperti mematahkan rantai kebaikan yang seharusnya terjalin. Agama-agama ini mengajarkan, perjuangan haruslah seperti melukis, dengan kesabaran, bukan dengan menghancurkan kanvasnya.

Pada akhirnya, apa pun agamanya, pesannya sama. Kezaliman harus dilawan, tapi bukan dengan cara yang zalim. Api harus dipadamkan dengan air, bukan dengan api lain. Karena, keadilan sejati adalah saat kita bisa berdiri tegak, tanpa harus mengotori tangan kita dengan kesalahan.



29 August 2025

Di Simpang Jalan Suara dan Keteraturan

aLamathuR.com - Demonstrasi, atau riuhnya suara yang tumpah ke jalan, adalah denyut nadi dari sebuah zaman. Ia adalah hakikat kebebasan yang mengalir dalam nadi demokrasi, di mana setiap jiwa berhak menumpahkan keluh kesah, aspirasi, dan amarahnya. Ketika kata-kata tak lagi berdaya di mimbar-mimbar resmi, jalanan menjadi panggung bagi lakon perjuangan, tempat di mana rakyat bersuara serempak, menuntut perubahan yang telah lama dinanti. Namun, di tengah gemuruh itu, muncullah pertanyaan yang menggantung: perlukah kita membiarkan sungai suara ini mengalir hingga mengganggu alur kehidupan kota yang telah tertata?

Ada kalanya, nurani kolektif menuntut untuk disuarakan secara nyata. Dalam sejarah peradaban, banyak kisah gemilang lahir dari debu jalanan yang diinjak ribuan pasang kaki. Mereka adalah pemecah kebekuan, pembuka tabir keadilan yang tertutup rapat, dan penjaga janji-janji yang telah usang. Turun ke jalan bukan sekadar aksi fisik, melainkan sebuah ritual pemberontakan yang bermartabat, sebuah deklarasi bahwa kesabaran telah habis dan bahwa perubahan harus terjadi, detik ini juga. Itulah mengapa, seringkali demonstrasi menjadi senjata terakhir, sebuah seruan yang tak bisa lagi dibungkam.

Namun, setiap pergerakan punya bayangannya sendiri. Di balik idealisme yang membakar, ada realitas keras yang tak bisa dihindari: jalanan yang tersumbat, deru klakson yang tak sabar, dan terhentinya denyut ekonomi. Bagi sebagian orang, ia adalah interupsi yang tak termaafkan; sebuah pengorbanan yang terlalu mahal untuk dibayar, di mana hak untuk berpendapat seolah meniadakan hak untuk beraktivitas. Di persimpangan ini, terbentang dilema antara idealisme dan pragmatisme, antara gema suara rakyat dan keheningan ketertiban yang dirindukan.

Maka, jalan tengah adalah jembatan yang harus kita bangun bersama. Bukan dengan memadamkan api aspirasi, melainkan dengan mengarahkannya agar cahayanya tak membakar seisi kota. Demonstrasi bisa tetap menjadi seruan yang kuat tanpa harus menjadi badai yang merusak. Dengan memilih rute yang bijaksana, dengan menjaga ketertiban yang lahir dari kesadaran, dan dengan komunikasi yang tulus antara penguasa dan yang dikuasai, kita bisa menemukan harmoni. Bahwa suara-suara di jalan tak harus menjadi kekacauan, melainkan sebuah simfoni yang mengiringi langkah menuju perubahan yang lebih baik, tanpa harus merugikan siapapun.



Refleksi Diri di Tengah Hiruk Pikuk: Mengapa Kita Rentan Terbawa Arus?

aLamathuR.com - Setiap hari, kita disuguhi rentetan berita politik dan kekacauan sosial yang membanjiri lini masa. Dari perdebatan sengit di media sosial hingga narasi yang saling bertentangan, semua informasi ini datang begitu cepat, mengancam kestabilan emosi kita. Di tengah hiruk pikuk ini, penting bagi masyarakat Indonesia untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi diri. Mengapa kita begitu mudah terombang-ambing oleh berita? Mengapa kemarahan dan kecemasan sering kali menjadi respons pertama?


Ketika Otak Mengambil Alih: Respon Emosional vs. Rasional

Secara psikologis, otak kita memiliki dua sistem utama: sistem limbik yang bertanggung jawab atas emosi dan reaksi cepat (sering disebut sebagai "otak reptil") dan korteks prefrontal yang mengatur pemikiran rasional, analisis, dan pengambilan keputusan. Saat kita terpapar berita provokatif atau narasi yang memicu amarah, sistem limbik kita langsung bereaksi. Kita merasa perlu membela "pihak kita" atau menyerang "pihak lawan". Ini adalah mekanisme bertahan hidup yang kuno, namun sering kali tidak relevan dalam konteks modern.

Tanpa disadari, kita terjebak dalam spiral reaktif. Kita bereaksi tanpa berpikir, membagikan konten yang emosional, dan terlibat dalam perdebatan tanpa data yang valid. Kita lupa bahwa ada jeda antara stimulus dan respons. Jeda inilah yang memberi kita kesempatan untuk menggunakan korteks prefrontal. Dengan melatih jeda ini, kita dapat memilih untuk merespons dengan tenang, alih-alih bereaksi secara impulsif.


Mengembangkan "Mental Hygiene" di Era Digital

Sama seperti kita menjaga kebersihan fisik, kita juga perlu menjaga kesehatan mental di dunia digital. Caranya adalah dengan menerapkan "mental hygiene" yang ketat. Pertama, batasi konsumsi berita; tidak semua yang viral perlu kita ketahui saat itu juga. Kedua, verifikasi informasi sebelum membagikannya. Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah berita ini valid? Apakah sumbernya terpercaya?" Terakhir, dan yang paling penting, kembali ke diri sendiri.

Tanyakan pada diri Anda: "Apakah respons ini datang dari ketenangan atau amarah? Apakah ini benar-benar penting bagi saya secara pribadi?" Dengan melatih kesadaran diri ini, kita bisa menciptakan ruang pribadi yang damai, di mana emosi tidak lagi dikendalikan oleh algoritma atau narasi orang lain. Ini adalah langkah kecil namun krusial untuk menjaga kedamaian batin di tengah badai informasi. Bukankah lebih baik menjadi bagian dari solusi yang tenang daripada terjebak dalam kekacauan yang bising?



28 August 2025

Rokok dan Kopi

aLamathuR.com - Dalam keriuhan dunia Gen Z, di mana tren berkelebat secepat unggahan media sosial, ada dua elemen klasik yang tetap bertahan: rokok dan kopi. Bukan lagi sekadar kebiasaan orang tua, kini keduanya bertransformasi menjadi bagian dari identitas, bahkan gaya hidup. Namun, di antara kepulan asap dan aroma seduhan, tersembunyi perdebatan yang tak kasat mata. Kopi, dengan segala pesona kafeinnya, sering kali dianggap sebagai sahabat produktivitas, pemicu ide-ide cemerlang yang mengalir deras di kedai kopi estetik. Sementara rokok, meski disadari bahayanya, masih saja menggoda sebagian, mungkin sebagai penanda pemberontakan, atau sekadar ritual di sela-sela kepadatan jadwal.

Namun, di balik narasi romantisasi tersebut, sains berbicara. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Psychological Reports (2018) oleh Zhang dan rekan-rekan menunjukkan bahwa konsumsi kafein moderat dapat meningkatkan fokus dan mengurangi kelelahan, sangat relevan bagi Gen Z yang sering dituntut multitasking. Kopi seolah menjadi bahan bakar bagi kreativitas digital dan ritme kerja non-stop. Sebaliknya, rokok, dengan kandungan nikotinnya, memang dapat memberikan efek stimulasi sesaat, namun penelitian lain dari Nicotine & Tobacco Research (2020) menyoroti risiko adiksi yang tinggi dan dampak negatif jangka panjang pada kesehatan mental serta fisik, termasuk peningkatan risiko depresi dan kecemasan, yang ironisnya seringkali justru ingin dihindari oleh Gen Z.

Di Bandung, misalnya, pemandangan anak muda memegang secangkir kopi dengan laptop terbuka adalah hal lumrah. Mereka merayakan kopi sebagai inspirasi, jembatan diskusi, bahkan pelengkap swafoto estetik. Kopi menjadi simbol inklusi, bagian dari komunitas yang menghargai pengalaman dan cerita. Namun, tak jauh dari sana, mungkin ada sudut tersembunyi di mana asap rokok mengepul, mengukir momen sunyi di tengah bisingnya ekspektasi. Rokok, bagi sebagian, mungkin menjadi pelarian singkat dari tekanan, sebuah ritual personal yang menegaskan eksistensi di antara keramaian dunia maya.

Pada akhirnya, pilihan kembali pada individu Gen Z itu sendiri. Apakah mereka akan membiarkan diri terbuai oleh ilusi kenikmatan sesaat yang ditawarkan rokok, atau memilih jalur kopi yang, meski juga memiliki efek samping jika berlebihan, setidaknya menawarkan narasi yang lebih positif dan didukung oleh bukti ilmiah yang lebih kuat untuk meningkatkan kualitas hidup? Keputusan ini bukan hanya soal selera, melainkan juga tentang pemahaman diri dan keberanian untuk memilih yang terbaik bagi kesehatan jiwa dan raga di tengah pusaran zaman.



Dampak Psikologis Judi Online: Mengapa Sangat Berbahaya?


aLamathuR.com - Judi online semakin marak, menjebak banyak orang dalam cengkeraman adiksi. Dilihat dari kacamata psikologi, fenomena ini tidak sekadar hobi atau hiburan, melainkan sebuah perilaku yang berpotensi merusak mental secara fundamental. Berikut adalah beberapa bahaya psikologis judi online yang perlu Anda waspadai.



Jebakan Disonansi Kognitif: Perang Batin Antara Keinginan dan Kenyataan

Saat seseorang mulai berjudi online, ia sering kali terjebak dalam disonansi kognitif. Ini adalah ketidaknyamanan mental yang timbul ketika keyakinan atau nilai diri bertentangan dengan tindakan yang dilakukan. Seseorang mungkin tahu bahwa judi itu merugikan, tetapi pada saat yang sama, ia merasakan sensasi kenikmatan dari adrenalin saat bertaruh.

Awalnya, pemain mungkin hanya ingin mencoba. Namun, ketika mereka menang, otak melepaskan dopamin, zat kimia yang terkait dengan rasa senang dan motivasi. Ini menciptakan 'positive reinforcement' atau penguatan positif. Sebaliknya, saat kalah, mereka cenderung berpikir bahwa kemenangan berikutnya akan datang, sehingga mereka terus bermain.


Ketergantungan dan Toleransi yang Meningkat

Seperti narkoba atau alkohol, judi online memicu mekanisme adiksi yang serupa. Setelah terpapar dopamin secara berulang, otak membangun toleransi. Artinya, pemain membutuhkan jumlah taruhan yang lebih besar atau durasi bermain yang lebih lama untuk mencapai sensasi yang sama. Hal ini memicu lingkaran setan yang sulit diputus.

Ketergantungan ini tidak hanya soal keuangan, tapi juga emosional. Perasaan gembira yang singkat saat menang, diikuti oleh kekosongan dan penyesalan saat kalah, menciptakan siklus emosi yang tidak stabil. Pemain menjadi terisolasi, menarik diri dari lingkungan sosial, dan hanya berinteraksi dengan dunia maya tempat mereka berjudi.


Gangguan Kontrol Impuls: Kekuatan Kehendak yang Melemah

Judi online melemahkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan impuls. Keputusan untuk terus bertaruh, meskipun sudah rugi besar, bukanlah tindakan rasional. Sebaliknya, itu adalah dorongan yang tidak terkontrol. Bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan penilaian risiko, yaitu korteks prefrontal, menjadi tumpul.

Penjudi online sering kali berbohong pada diri sendiri dan orang lain tentang seberapa banyak mereka bermain atau seberapa besar kerugian mereka. Ini adalah mekanisme pertahanan diri untuk menghindari rasa malu dan menyembunyikan masalah yang sebenarnya. Kebohongan ini selanjutnya merusak hubungan interpersonal dan kepercayaan diri.


Dampak Buruk pada Kesehatan Mental

Secara klinis, adiksi judi online sering kali berjalan beriringan dengan masalah kesehatan mental lainnya. Beberapa di antaranya adalah:

Depresi dan Kecemasan: Kerugian finansial yang terus-menerus dan rasa bersalah yang mendalam dapat memicu gejala depresi. Kecemasan juga meningkat, terutama saat memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk berjudi atau membayar hutang.
  • Stres dan Insomnia: Pikiran yang terus-menerus tentang taruhan dan hasil pertandingan membuat pikiran tidak pernah tenang. Hal ini mengganggu pola tidur dan meningkatkan tingkat stres secara keseluruhan.
  • Pikiran untuk Bunuh Diri: Dalam kasus yang ekstrem, ketika penjudi merasa terjebak, tidak ada jalan keluar, dan semua harapan hilang, pikiran untuk mengakhiri hidup dapat muncul.


Kesimpulan: Bukan Hanya Masalah Uang, Tapi Jiwa

Judi online adalah ancaman nyata bagi kesehatan mental. Bahayanya tidak hanya terletak pada kerugian finansial yang bisa menghancurkan hidup, tetapi juga pada erosi karakter dan rusaknya struktur psikologis seseorang.

Jika Anda atau orang terdekat Anda menunjukkan tanda-tanda adiksi judi online, penting untuk segera mencari bantuan profesional dari psikolog atau psikiater. Mengakui masalah adalah langkah pertama, dan dukungan yang tepat dapat membantu memutus rantai adiksi ini sebelum terlambat.



20 August 2025

Nongkrongin Live Shopee: Sekadar Pemuas Diri Sesaat

aLamathuR.com - Fenomena nongkrong di live streaming belanja, terutama di platform seperti Shopee, kini jadi gaya hidup baru. Ditemani host yang karismatik dan diskon yang menggiurkan, kita sering kali merasa seperti sedang berpesta. Suasana interaktif, riuh, dan penuh dorongan untuk "check out sekarang!" membuat kita lupa diri. Aksi membeli menjadi sebuah pengalaman yang seru, mirip sebuah perburuan di mana kepuasan terbesar adalah saat berhasil mendapatkan barang impian. Namun, di balik serunya sensasi belanja ini, ada realitas yang kerap kali kita lupakan.

Banyak dari kita melakukan pembelian ini bukan karena kebutuhan, melainkan sebagai sebuah pelarian. Kehidupan yang penuh tekanan, stres, atau rasa bosan sering mendorong kita mencari kebahagiaan instan. Sensasi membeli, dengan gelombang dopamin yang dilepaskan di otak saat kita menekan tombol "beli sekarang", memberikan rasa puas yang begitu cepat. Ini adalah cara kita memuaskan diri secara instan. Seakan-akan, dengan memiliki barang baru, kita bisa mengisi kekosongan atau mengatasi perasaan negatif yang sedang kita rasakan.

Sayangnya, kepuasan itu sering kali bersifat fana. Setelah barang tiba di depan pintu, sensasi euforia yang kita rasakan saat membelinya perlahan memudar. Kardus dibuka, barang dipegang, dan tiba-tiba kita sadar bahwa barang itu tidak benar-benar kita butuhkan. Barang itu mungkin hanya akan berakhir menumpuk di lemari, menjadi pengingat atas sebuah pembelian impulsif yang tidak terencana. Pada akhirnya, kita kembali dihadapkan pada realitas, meninggalkan kekosongan yang sama seperti sebelum kita menekan tombol "beli" itu.



19 August 2025

Di Antara Deru Algoritma: Nasib Blogger di Era IG dan TikTok

aLamathuR.com - Dunia digital kini bagaikan samudra yang tak bertepi, di mana gelombang-gelombang media sosial seperti TikTok dan Instagram menghempas setiap pesisir. Di tengah badai yang memekakkan telinga ini, para blogger—mereka yang dulu menjadi nakhoda bagi kapal-kapal konten di lautan internet—kini menghadapi nasib yang penuh ketidakpastian. Di saat perhatian generasi milenial dan Gen Z lebih mudah terpikat pada video berdurasi pendek dan gambar yang mencolok, apakah masih ada tempat bagi narasi panjang yang membutuhkan kedalaman?

Tentu, tantangan terbesar adalah perubahan pola konsumsi konten. Jika dulu orang rela meluangkan waktu untuk membaca sebuah artikel yang mendalam tentang ulasan film, kini mereka cukup menonton video reels 30 detik yang merangkumnya. Blog yang mengulas resep masakan harus bersaing dengan video tutorial TikTok yang serba cepat. Bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga tentang interaksi dan personalisasi. Media sosial menawarkan koneksi instan dan pengalaman yang lebih visual, membuat pembaca merasa lebih dekat dengan kreatornya. Ini berbeda dengan blog yang cenderung satu arah, di mana penulis membagikan pemikiran dan pembaca sesekali memberikan komentar.

Namun, bukan berarti era blog sudah berakhir. Justru, ini adalah masa bagi para blogger untuk beradaptasi dan menemukan kembali relevansi mereka. Blog bisa menjadi ruang di mana kedalaman dan keaslian bisa ditemukan. Di tengah banjir informasi yang dangkal, blog dapat menawarkan analisis yang mendalam, cerita yang menyentuh, dan opini yang terstruktur dengan baik—sesuatu yang sulit ditemukan dalam format media sosial yang serba ringkas. Blogger yang sukses saat ini adalah mereka yang mampu membangun komunitas setia, bukan sekadar audiens. Mereka menciptakan konten yang tidak hanya informatif, tetapi juga otentik dan memiliki nilai personal yang kuat.

Bagi mereka yang masih memegang pena digital, ini adalah saat untuk berkolaborasi dengan media sosial, bukan melawannya. Gunakan Instagram untuk membagikan cuplikan tulisan, atau TikTok untuk membuat visual dari poin-poin penting di blog. Media sosial bisa menjadi jembatan untuk mengarahkan audiens kembali ke rumah sejati—blog mereka. Dengan demikian, blog tetap menjadi pusat gravitasi yang menyimpan arsip pemikiran, ide, dan cerita yang abadi, terlepas dari seberapa cepat gelombang digital berganti. Nasib blogger tidak berakhir, melainkan bertransformasi menjadi kurator konten berkedalaman di tengah lautan informasi yang dangkal.



Jalur Kemerdekaan: Menggali Makna Diri

aLamathuR.com - Kemerdekaan, sebuah kata yang sering kita dengar, tapi apakah kita benar-benar memahami maknanya? Bukan cuma soal bendera berkibar atau lagu kebangsaan yang menggema. Kemerdekaan sejatinya adalah sebuah perjalanan batin, sebuah proses menemukan diri sendiri. Ia adalah keberanian untuk melepaskan diri dari segala batasan, baik yang dibuat oleh orang lain maupun yang kita ciptakan sendiri. Ini tentang jadi diri sendiri, otentik, tanpa harus minta validasi dari siapa pun. Ini tentang berani beda, berani punya mimpi yang nggak biasa, dan berani melangkah di jalan yang kita pilih, meskipun sepi.

Kemerdekaan juga berarti bertanggung jawab. Bebas bukan berarti tanpa aturan atau tanpa etika. Justru, kemerdekaan sejati adalah ketika kita sadar bahwa setiap pilihan kita punya konsekuensi. Kita nggak cuma bebas buat ngomong apa yang kita mau, tapi kita juga harus siap dengan reaksi dan dampak dari omongan itu. Jadi, kemerdekaan itu kayak pedang bermata dua: di satu sisi, ia memberi kita kekuatan untuk menciptakan takdir kita sendiri, tapi di sisi lain, ia menuntut kita untuk jadi bijak dan berani menghadapi hasilnya. Ini adalah seni menyeimbangkan kebebasan dan tanggung jawab, antara diri sendiri dan orang lain.

Di era digital ini, kemerdekaan sering kali diuji. Media sosial, dengan segala platformnya, seringkali menjebak kita dalam "penjara" tak terlihat. Kita terperangkap dalam perbandingan, tuntutan untuk selalu tampil sempurna, dan kecemasan akan fear of missing out (FOMO). Padahal, kemerdekaan sejati adalah ketika kita bisa memutus rantai itu. Ini tentang melepaskan diri dari like dan follow sebagai tolak ukur harga diri. Ini tentang kembali ke dalam diri, mengeksplorasi apa yang benar-benar kita inginkan, bukan apa yang tren atau apa yang diharapkan orang lain. Kemerdekaan adalah ketika kita bisa dengan nyaman jadi diri sendiri, di dunia maya maupun nyata.

Maka, mari kita rayakan kemerdekaan bukan hanya dengan upacara dan lomba, tapi dengan merayakan diri kita sendiri. Mari kita merenung, sudah sejauh mana kita bebas dari belenggu-belenggu yang menghambat? Kemerdekaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sebuah perjalanan spiritual yang tidak pernah berakhir. Mari kita terus berusaha untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, yang bebas, bertanggung jawab, dan otentik. Karena pada akhirnya, kemerdekaan terbesar adalah ketika kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan hidup sesuai dengan kebenaran yang kita yakini.


17 August 2025

Mari Menulis Kembali

aLamathuR.com - Di suatu masa yang muram, di mana pena-pena terdiam dan tinta-tinta mengering, sebuah seruan harus kembali berkumandang. Jangan biarkan layar-layar bersinar lebih terang dari api unggun yang menyala di hati sanubari. Bangunlah dari tidur panjang yang memeluk raga, wahai pujangga-pujangga yang tersembunyi. Mari kembali menorehkan kata-kata, merajutnya menjadi untaian doa, dan melukiskan kisah-kisah yang terlupakan. Karena sebuah tulisan adalah abadi, melebihi usia raga, melintasi batas waktu, dan memancarkan cahaya di lorong-lorong kegelapan.

Bukankah kita pernah bersumpah di bawah rembulan, bahwa setiap getaran jiwa akan diabadikan? Bahwa setiap tangisan dan tawa akan menjadi bait-bait puisi yang indah? Biarkanlah jemari-jemari kita menari di atas kertas yang lapuk, menciptakan simfoni dari aksara-aksara yang berjiwa. Jangan takut akan sunyi, karena dalam kesunyianlah kita menemukan melodi yang paling agung. Mari kita tulis, bukan untuk diakui, melainkan untuk hidup. Menulis adalah jalan pulang bagi setiap hati yang merindu.

Maka, ambillah kembali pena yang telah usang. Basuhlah kembali tinta yang telah membeku. Karena di dalam setiap goresan tangan, tersimpan kekuatan yang mampu mengguncang dunia. Biarkanlah kata-kata mengalir, seperti sungai yang tak pernah lelah menuju samudra. Menulis adalah sebuah perjuangan, sebuah jihad, dan sebuah cinta yang tak pernah berkesudahan. Kita adalah pewaris dari para empu yang telah tiada, dan tugas kita adalah meneruskan nyala api itu hingga ke ujung zaman. Mari menulis lagi.



13 February 2025

Jika Semua Orang Kaya Raya

aLamathuR.com - Apakah pernah terpikirkan bagaimana jika semua orang kaya raya? Bagaimana jika setiap orang dapat merencanakan masa depannya dengan baik dengan menabung? Bagaimana jika setiap orang dapat bertanggungjawab dengan uang mereka dan tidak mencari kepuasan instan diatas segalanya? Bagaimana jika semua orang kaya dapat mengejar hal-hal yang mereka inginkan dalam hidup dan memiliki kebebasan dengan apa yang mereka punya? Bagaimana jika kekayaan adalah hadiah terbaik untuk diri, keluarga, masyarakat dan negara?


Jika gambaran kondisinya seperti diatas, akankah hukum ekonomi bekerja? akankah sistem kapitalisme runtuh dengan sendirinya? Apakah produktivitas berhenti? Akankah ini dapat memperbaiki aspek sosialis dan humanis manusia? Akahkah kita masih akan tetap bekerja jika kita kaya? Jika tidak, akahkah ada orang yang mau tetap mau bekerja dengan kita? Bagaimana jika tidak ada yang mau lagi bekerja? Bisakah robot melakukan semua pekerjaan yang dilakukan manusia? Ketika robot-robot itu rusak, bisakah kita tidak perlu bekerja untuk memperbaikinya?

Siapakah yang akan mempertahankan sistem? Apakah kita pikir peradaban manusia bisa tumbuh dan berkembang jika semua orang menjadi kaya raya? Jika semua orang kaya dan sama sekali tidak ada yang miskin, maka kekayaan hakikatnya menjadi tidak berguna. Jika miskin adalah kondisi yang didefiniskan sebagai "seseorang yang belum bisa memiliki hak-nya", maka tentu setiap orang akan berpikiran lebih baik untuk menjadi kaya. 

Tapi, bagaimana jika semua orang ternyata miskin? Apa yang akan mereka inginkan? Jika mereka semua ingin menjadi kaya, maka mereka akan pergi keluar rumah untuk bekerja keras supaya bisa menjadi kaya. Lebih jauh, secara masif ini akan membuat produktivitas itu nyata. Untuk sebuah bangsa, produktivitas masyarakatnya adalah modal untuk maju.

Pikirkan tentang hal ini......


Mengendalikan Situasi

aLamathuR.com
- Kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam kendali kita yaitu pikiran dan tindakan kita sendiri. Selain itu merupakan hal eksternal di luar kendali kita. Oleh karenanya, yang dapat kita kendalikan adalah penilaian kita terhadap hal eksternal ini; peristiwa, situasi, pikiran, pendapat orang lain terhadap kita.

Saat berada di sebuah situasi, bedakan apa yang bisa kita ubah dan yang tidak, apa yang dapat kita pengaruhi dan yang tidak. Pakai waktu sebijak mungkin untuk mengubah dan mengendalikan apa yang dapat kita ubah.

Semakin kita berusaha untuk mengendalikan segala sesuatu di luar kuasa kita, akan semakin mudah juga untuk kita merasa tertekan.

Tapi jangan lupa, jangan juga jadi pembenaran...

Banyak dari kita yang menghindari tekanan. Lebih karena malas untuk berusaha, untuk mencari cara. Hanya berupaya menemukan alasan untuk membenarkan keadaan.


01 January 2025

Kita Sama, Kita Beda

Kita semua sama dalam kenyataan bahwa kita semua berbeda. Kita semua sama dalam kenyataan bahwa kita tidak akan pernah sama. Kita disatukan oleh kenyataan bahwa semua pendapat mungkin berbeda tapi akan saling melengkapi satu dengan lainnya. Kita selaras dalam realitas bahwa kita semua berdiri di bumi ini dengan gravitasi yang sama. Kita tidak berbagi darah, tapi kita berbagi udara yang membuat kita tetap hidup.


Tapi kita tak perlu membutakan diri sendiri untuk mengatakan bahwa terkadang kita berbeda satu dengan lainnya. 
Kita juga tidak perlu membutakan diri sendiri untuk mengatakan bahwa diantara kita, semuanya pasti selalu berbeda dalam hal apapun.

Hidup memang penuh warna. Kadang warna-warna itu ada yang sama, ada yang hampir serupa tapi tak sama dan ada juga yang benar-benar tidak sama. Dan itu nyata adanya....