• Narsis Tidak Dilarang

    Para ahli memperkiraan bahwa hanya ada 5% orang yang memiliki NPD. Dikutip dari Psych Central, laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami NPD dibanding perempuan...

  • Cerita Hileud Jepang

    Semuanya bermula dari 20 tahun yang lalu...

  • My Bike My Pride

    Riding a motorcycle can be a great hobby for me. It can provide a sense of freedom and adventure, as well as an opportunity to enjoy the outdoors and explore new places...

02 September 2025

Jangan Kaget! Inilah Alasan Hidup Kita Tidak Sama

aLamathuR.com - Pernah tidak, kamu merasa hidup ini seperti permainan yang pengaturannya curang? Kita semua mulai dari garis start yang sangat berbeda. Ada yang lahir sudah di level tinggi dengan perlengkapan lengkap, sementara yang lain harus memulai dari nol, modalnya hanya tekad. Ini bukan hanya teori, ini realitas pahit yang kita lihat setiap hari: yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin sulit bernapas.


Si Kaya yang Punya "Kode Curang"

Coba bayangkan, orang kaya itu seolah punya "kode curang" dalam hidup. Mereka bisa mengakses pendidikan terbaik, memiliki jaringan yang luas, dan modal untuk membangun bisnis. Kalaupun gagal, mereka punya jaring pengaman yang tebal sekali. Gagal di satu proyek? Ah, bisa coba lagi, uangnya toh tidak habis. Uang mereka bekerja untuk mereka, menghasilkan uang lagi, dan lagi. Inilah yang disebut "privilege". Mereka tidak perlu bekerja keras hanya untuk bertahan hidup, mereka bekerja untuk menggandakan kekayaan.


Si Miskin yang Bermain Tanpa Senjata

Di sisi lain, si miskin harus berjuang mati-matian hanya untuk bertahan. Bekerja keras dari pagi hingga malam, banting tulang, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan hari itu. Tidak ada tabungan untuk masa depan, apalagi untuk investasi. Kalau sakit? Itu bencana. Tidak bisa bekerja sehari saja, bisa langsung kelaparan. Ini bukan soal mereka malas, tapi mereka terjebak dalam lingkaran setan yang sangat sulit diputus. Mereka tidak punya akses ke pendidikan yang bagus, tidak punya modal, dan setiap langkah yang mereka ambil, risikonya sangat besar.


Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak ada yang bilang ini mudah. Tapi, kita tidak bisa hanya diam dan mengeluh. Ironi ini seharusnya menjadi pemicu bagi kita. Mungkin tidak semua orang bisa mengubah sistem, tapi kita bisa mulai dari hal kecil. Bantu teman yang membutuhkan, sebarkan informasi tentang beasiswa atau pelatihan gratis, atau minimal, tidak usah sombong kalau kita punya lebih. Intinya, kita harus memiliki empati. Karena pada akhirnya, kita semua berada di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Mungkin kita tidak bisa membuat semua orang kaya, tapi kita bisa berusaha membuat hidup menjadi sedikit lebih adil.



01 September 2025

Etika, Emosi, dan Harta Penguasa

aLamathuR.com - Di banyak lembaran ajaran suci, ada satu pesan yang sering berbisik: "Jangan ambil yang bukan hakmu." Pesan itu berlaku untuk semua, bahkan saat hati memanas melihat pemimpin yang tak peduli. Agama-agama besar sepakat, menjarah harta, meski dari istana yang tak berempati, adalah langkah yang salah. Ia seperti memadamkan api dengan bensin.


Islam: Kisah Tentang Berkah dan Dosa

Dalam Islam, harta itu punya jalurnya sendiri. Mengambil paksa, meski dari tangan penguasa yang zalim, adalah jalan yang berduri. Ia merenggut keberkahan, mengubah niat suci menjadi dosa. Dalam setiap ayatnya, Al-Qur'an dan Hadis seperti mengingatkan, "Jangan biarkan amarahmu mencuri kebenaran. Keadilan harus dicari, tapi bukan dengan melanggar larangan-Nya." Harta yang diambil dari penjarahan, seolah tak pernah bisa membawa kedamaian.


Kristen: Jalan Damai Mencari Cahaya

Ajaran Kristen mengajarkan, dalam kegelapan ketidakadilan, kita tak boleh membalas dengan kegelapan. Menjarah adalah membalas dendam, bukan mencari kebenaran. Alkitab memang mengecam kezaliman, tapi ia mengajak kita untuk mencari solusi yang damai, lewat jalur yang sah. Seperti mengalirkan sungai, bukan merusak bendungan. Prinsip kasih dan pengampunan menjadi lentera di jalan yang penuh tantangan ini.


Hindu dan Buddha: Simfoni Tanpa Kekerasan

Dalam Hindu, pemimpin diibaratkan pelayan rakyat, bukan raja yang serakah. Tapi, saat pelayan itu ingkar janji, bukan berarti rakyat boleh mencuri. Begitu juga dalam Buddhisme, hidup harus dijalani dengan sila, salah satunya tidak mencuri. Menjarah, apa pun alasannya, adalah melanggar sila itu. Ia seperti mematahkan rantai kebaikan yang seharusnya terjalin. Agama-agama ini mengajarkan, perjuangan haruslah seperti melukis, dengan kesabaran, bukan dengan menghancurkan kanvasnya.

Pada akhirnya, apa pun agamanya, pesannya sama. Kezaliman harus dilawan, tapi bukan dengan cara yang zalim. Api harus dipadamkan dengan air, bukan dengan api lain. Karena, keadilan sejati adalah saat kita bisa berdiri tegak, tanpa harus mengotori tangan kita dengan kesalahan.



29 August 2025

Di Simpang Jalan Suara dan Keteraturan

aLamathuR.com - Demonstrasi, atau riuhnya suara yang tumpah ke jalan, adalah denyut nadi dari sebuah zaman. Ia adalah hakikat kebebasan yang mengalir dalam nadi demokrasi, di mana setiap jiwa berhak menumpahkan keluh kesah, aspirasi, dan amarahnya. Ketika kata-kata tak lagi berdaya di mimbar-mimbar resmi, jalanan menjadi panggung bagi lakon perjuangan, tempat di mana rakyat bersuara serempak, menuntut perubahan yang telah lama dinanti. Namun, di tengah gemuruh itu, muncullah pertanyaan yang menggantung: perlukah kita membiarkan sungai suara ini mengalir hingga mengganggu alur kehidupan kota yang telah tertata?

Ada kalanya, nurani kolektif menuntut untuk disuarakan secara nyata. Dalam sejarah peradaban, banyak kisah gemilang lahir dari debu jalanan yang diinjak ribuan pasang kaki. Mereka adalah pemecah kebekuan, pembuka tabir keadilan yang tertutup rapat, dan penjaga janji-janji yang telah usang. Turun ke jalan bukan sekadar aksi fisik, melainkan sebuah ritual pemberontakan yang bermartabat, sebuah deklarasi bahwa kesabaran telah habis dan bahwa perubahan harus terjadi, detik ini juga. Itulah mengapa, seringkali demonstrasi menjadi senjata terakhir, sebuah seruan yang tak bisa lagi dibungkam.

Namun, setiap pergerakan punya bayangannya sendiri. Di balik idealisme yang membakar, ada realitas keras yang tak bisa dihindari: jalanan yang tersumbat, deru klakson yang tak sabar, dan terhentinya denyut ekonomi. Bagi sebagian orang, ia adalah interupsi yang tak termaafkan; sebuah pengorbanan yang terlalu mahal untuk dibayar, di mana hak untuk berpendapat seolah meniadakan hak untuk beraktivitas. Di persimpangan ini, terbentang dilema antara idealisme dan pragmatisme, antara gema suara rakyat dan keheningan ketertiban yang dirindukan.

Maka, jalan tengah adalah jembatan yang harus kita bangun bersama. Bukan dengan memadamkan api aspirasi, melainkan dengan mengarahkannya agar cahayanya tak membakar seisi kota. Demonstrasi bisa tetap menjadi seruan yang kuat tanpa harus menjadi badai yang merusak. Dengan memilih rute yang bijaksana, dengan menjaga ketertiban yang lahir dari kesadaran, dan dengan komunikasi yang tulus antara penguasa dan yang dikuasai, kita bisa menemukan harmoni. Bahwa suara-suara di jalan tak harus menjadi kekacauan, melainkan sebuah simfoni yang mengiringi langkah menuju perubahan yang lebih baik, tanpa harus merugikan siapapun.



Refleksi Diri di Tengah Hiruk Pikuk: Mengapa Kita Rentan Terbawa Arus?

aLamathuR.com - Setiap hari, kita disuguhi rentetan berita politik dan kekacauan sosial yang membanjiri lini masa. Dari perdebatan sengit di media sosial hingga narasi yang saling bertentangan, semua informasi ini datang begitu cepat, mengancam kestabilan emosi kita. Di tengah hiruk pikuk ini, penting bagi masyarakat Indonesia untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi diri. Mengapa kita begitu mudah terombang-ambing oleh berita? Mengapa kemarahan dan kecemasan sering kali menjadi respons pertama?


Ketika Otak Mengambil Alih: Respon Emosional vs. Rasional

Secara psikologis, otak kita memiliki dua sistem utama: sistem limbik yang bertanggung jawab atas emosi dan reaksi cepat (sering disebut sebagai "otak reptil") dan korteks prefrontal yang mengatur pemikiran rasional, analisis, dan pengambilan keputusan. Saat kita terpapar berita provokatif atau narasi yang memicu amarah, sistem limbik kita langsung bereaksi. Kita merasa perlu membela "pihak kita" atau menyerang "pihak lawan". Ini adalah mekanisme bertahan hidup yang kuno, namun sering kali tidak relevan dalam konteks modern.

Tanpa disadari, kita terjebak dalam spiral reaktif. Kita bereaksi tanpa berpikir, membagikan konten yang emosional, dan terlibat dalam perdebatan tanpa data yang valid. Kita lupa bahwa ada jeda antara stimulus dan respons. Jeda inilah yang memberi kita kesempatan untuk menggunakan korteks prefrontal. Dengan melatih jeda ini, kita dapat memilih untuk merespons dengan tenang, alih-alih bereaksi secara impulsif.


Mengembangkan "Mental Hygiene" di Era Digital

Sama seperti kita menjaga kebersihan fisik, kita juga perlu menjaga kesehatan mental di dunia digital. Caranya adalah dengan menerapkan "mental hygiene" yang ketat. Pertama, batasi konsumsi berita; tidak semua yang viral perlu kita ketahui saat itu juga. Kedua, verifikasi informasi sebelum membagikannya. Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah berita ini valid? Apakah sumbernya terpercaya?" Terakhir, dan yang paling penting, kembali ke diri sendiri.

Tanyakan pada diri Anda: "Apakah respons ini datang dari ketenangan atau amarah? Apakah ini benar-benar penting bagi saya secara pribadi?" Dengan melatih kesadaran diri ini, kita bisa menciptakan ruang pribadi yang damai, di mana emosi tidak lagi dikendalikan oleh algoritma atau narasi orang lain. Ini adalah langkah kecil namun krusial untuk menjaga kedamaian batin di tengah badai informasi. Bukankah lebih baik menjadi bagian dari solusi yang tenang daripada terjebak dalam kekacauan yang bising?



28 August 2025

Rokok dan Kopi

aLamathuR.com - Dalam keriuhan dunia Gen Z, di mana tren berkelebat secepat unggahan media sosial, ada dua elemen klasik yang tetap bertahan: rokok dan kopi. Bukan lagi sekadar kebiasaan orang tua, kini keduanya bertransformasi menjadi bagian dari identitas, bahkan gaya hidup. Namun, di antara kepulan asap dan aroma seduhan, tersembunyi perdebatan yang tak kasat mata. Kopi, dengan segala pesona kafeinnya, sering kali dianggap sebagai sahabat produktivitas, pemicu ide-ide cemerlang yang mengalir deras di kedai kopi estetik. Sementara rokok, meski disadari bahayanya, masih saja menggoda sebagian, mungkin sebagai penanda pemberontakan, atau sekadar ritual di sela-sela kepadatan jadwal.

Namun, di balik narasi romantisasi tersebut, sains berbicara. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Psychological Reports (2018) oleh Zhang dan rekan-rekan menunjukkan bahwa konsumsi kafein moderat dapat meningkatkan fokus dan mengurangi kelelahan, sangat relevan bagi Gen Z yang sering dituntut multitasking. Kopi seolah menjadi bahan bakar bagi kreativitas digital dan ritme kerja non-stop. Sebaliknya, rokok, dengan kandungan nikotinnya, memang dapat memberikan efek stimulasi sesaat, namun penelitian lain dari Nicotine & Tobacco Research (2020) menyoroti risiko adiksi yang tinggi dan dampak negatif jangka panjang pada kesehatan mental serta fisik, termasuk peningkatan risiko depresi dan kecemasan, yang ironisnya seringkali justru ingin dihindari oleh Gen Z.

Di Bandung, misalnya, pemandangan anak muda memegang secangkir kopi dengan laptop terbuka adalah hal lumrah. Mereka merayakan kopi sebagai inspirasi, jembatan diskusi, bahkan pelengkap swafoto estetik. Kopi menjadi simbol inklusi, bagian dari komunitas yang menghargai pengalaman dan cerita. Namun, tak jauh dari sana, mungkin ada sudut tersembunyi di mana asap rokok mengepul, mengukir momen sunyi di tengah bisingnya ekspektasi. Rokok, bagi sebagian, mungkin menjadi pelarian singkat dari tekanan, sebuah ritual personal yang menegaskan eksistensi di antara keramaian dunia maya.

Pada akhirnya, pilihan kembali pada individu Gen Z itu sendiri. Apakah mereka akan membiarkan diri terbuai oleh ilusi kenikmatan sesaat yang ditawarkan rokok, atau memilih jalur kopi yang, meski juga memiliki efek samping jika berlebihan, setidaknya menawarkan narasi yang lebih positif dan didukung oleh bukti ilmiah yang lebih kuat untuk meningkatkan kualitas hidup? Keputusan ini bukan hanya soal selera, melainkan juga tentang pemahaman diri dan keberanian untuk memilih yang terbaik bagi kesehatan jiwa dan raga di tengah pusaran zaman.