aLamathuR.com - Tahun 2015, aku melihat kotaku berubah lebih cepat dari yang bisa kupahami. Pagi-pagi, sebelum matahari benar-benar naik, jalan di depan rumah sudah penuh suara mesin dan langkah orang asing. Bandung yang dulu kukenal tenang dan ramah, kini ramai oleh wajah-wajah baru yang datang membawa rasa penasaran dan harapan.
Akhir pekan menjadi waktu yang paling melelahkan sekaligus membingungkan. Jalanan macet, tempat biasa kami singgahi tak lagi sederhana, dan ruang-ruang kecil terasa mengecil. Aku belajar menahan napas di tengah keramaian, sambil diam-diam bertanya: apakah kota ini masih punya ruang untuk kami yang lahir dan tumbuh di dalamnya?
Media sosial membuat Bandung semakin dipuja. Taman-taman yang dulu sepi kini dipenuhi kamera dan tawa, kafe-kafe kecil berubah menjadi tujuan wajib. Aku bangga, tentu saja, tapi juga lelah. Rasanya seperti melihat rumah sendiri dipamerkan ke banyak orang, sementara kami harus berbagi sunyi yang semakin mahal.
Di malam hari, saat jalan mulai lengang dan udara dingin menyusup perlahan, aku kembali mencintai Bandung. Di bawah lampu jalan yang temaram, kotaku masih sama—hangat, jujur, dan penuh kenangan. Meski berubah, Bandung tetap rumah, tempat aku pulang, dan tempat rindu selalu tahu arah.

0 comments:
Post a Comment