aLamathuR.com - Tahun 2018, Bandung mengeja harinya lewat aroma kopi. Dari gang sempit hingga sudut jalan ramai, uap hangat mengepul pelan, mengajak siapa pun untuk berhenti sejenak. Kopi menjadi bahasa baru kota ini—pahit di lidah, hangat di dada, dan diam-diam menyimpan banyak cerita.
Di dalam kedai-kedai kecil, waktu seperti dilipat. Anak muda duduk berhadapan dengan cangkirnya, menulis mimpi di layar, menertawakan rencana yang belum tentu jadi. Obrolan mengalir seperti seduhan, kadang pekat, kadang ringan, tapi selalu jujur. Bandung mendengarkan semuanya tanpa menghakimi.
Media sosial membuat kopi Bandung menjelma panggung. Cangkir-cangkir difoto, meja kayu dipuja, lampu temaram dipamerkan ke dunia. Kota ini kembali viral, bukan karena gaduh, melainkan karena ia tahu caranya membuat orang jatuh cinta perlahan—melalui jeda dan rasa.
Saat malam turun bersama gerimis, kopi menemukan rumahnya. Dalam sunyi yang lembut, Bandung terasa lebih dekat, lebih manusiawi. Di tahun itu, kami belajar bahwa bahagia tak selalu tentang pergi jauh—kadang cukup duduk diam, menyeruput kopi, dan membiarkan hati pulang.


