09 April 2015

I Don't Read What I Sign

aLamathuR.com - Satu dua bulan terakhir jargon “I Don't Read What I Sign” menjadi ngetrend di kalangan netter, tak terkecuali di media sosial. Pemicunya tentu saja dari kasus munculnya perpres kenaikan tunjuangan uang muka pembelian mobil pribadi pejabat di negeri ini beberapa waktu lalu. Setelah kebijakan ini menuai kritik keras dari tengah masyarakat dan menjadi polemik, ternyata yang terjadi kemudian, kebijakan ini (katanya) dicabut lagi dengan dalih sewaktu tanda tangan draft  tersebut tidak sempat dibaca dulu secara teliti apa yang poin-poin yang diusulkan. Dan akhirnya katanya JKW merasa kecolongan atas tindakannya sendiri. Sebagai pribadi, masyarakat memaklumi jika setiap orang bisa saja berbuat khilaf dan kurang teliti. Tapi persoalannya menjadi lain ketika yang bersangkutan adalah berada di level sebagai seorang kepala negara.

Belajar dari kasus tersebut, ada sebuah pelajaran berharga yang bisa dipetik. Istilah “I Don't Read What I Sign” sebetulnya bukan hanya dosa kepala negara saja. Contoh sehari-hari, yang paling gampang dan hampir rata-rata kita alami adalah ketika kita mengajukan kredit, baik kredit motor, kredit mobil, kredit elektronik, terkecuali kredit panci. Pada saat akad kredit, ada banyak sekali halaman dokumen yang harus diparaf atau ditandatangani. Apakah saat kita paraf kita membaca apa yang ada dalam setiap halaman dari dokumen-dokumen tersebut secara lengkap dan teliti sampai dengan paham isinya? Alasannya simple, “saya sih percaya saja sama bapak/ibu, makanya saya gak baca lagi”. WTF? padahal didalam dokumen-dokumen tersebut pastinya terdapat hal-hal yang seharusnya diketahui oleh kita sebagai debitur supaya kedepan tidak dirugikan secara sepihak.

I Dont Read What I Sign

Contoh simpel lainnya, ketika kita kirim barang via kurir atau ekspedisi, asal tanda tangan diresi ketika diminta. Padahal biasanya dibagian belakang resi tersebuta ada syarat dan ketentuan terkait kebijakan yang berlaku untuk ekspedisi tersebut. Misalkan kebijakan retur, kebijakan barang hilang dan lain-lain. Jika kemudian kita berpikir “tidak apa-apa, toh kebijakan semua kurir rata-rata sama koq”, apakah benar kita sudah tahu aturan mainnya secara detail? Atau ketika muncul masalah atas barang yang kita kirim?

Contoh lain banyak. Bahkan bisa lebih luas lagi...

Dikantor, sebagai seorang staff, supervisor, manajer perusahaan, apakah kita selalu tanda tangan setiap dokumen setelah membaca dan memahami isinya secara benar? Atau sekedar mengejar deadline, asal cepat selesai?

Dikampus, sebagai seorang dosen pembimbing skripsi, apakah kita kerap asal tanda tangan skripsi mahasiswa hanya demi “membantu”mempermudah jalan kelulusan mahasiswa kita?

Dijalan, ketika kita sewaktu-waktu melanggar rambu lalu lintas dan kena tilang, apakah kita membaca isi pasal-pasal dalam surat tilang sebelum menandatangani surat tilang tersebut?


Semua jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Karena kita pun sering tanpa sadar telah melakukan “I Don't Read What I Sign”.......


0 comments:

Post a Comment